Zona yang membebaskan fikiran, khayalan, keinginan, dan harapan. It's just fiction.

Selasa, 19 Juni 2012

Diam tanpa Koma

by: Umi_k

Kau bilang, kau muak dengan puisiku
Maka aku diam.
Kau bilang, kau bosan dengan kalimatku
Maka aku diam tak bicara.
Kau bilang, kau lelah dengan kata
Maka aku diam tanpa bahasa
Kau bilang, kau enggan mendengar
Maka aku diam tanpa koma.

Aku hanya menatapmu
Seperti yang kau mau,
Diam.

Melihatmu berkeluh kesah,
Tanpa komentar, aku tetap hanya diam.
Hingga kau lelah,
Lalu ikut terdiam.

Sejenak hanya ada satu kata,
Diam.

Lalu kau bilang,
Sepi tanpa kata.
Aku tetap diam.
Kau bilang, kau rindu suaraku...
Aku diam membentuk sebuah senyuman
Kau bilang, tak tahan melihatku yang diam

Aku pun seperti yang kau mau,
Tak lagi diam.
Puisi yang sedikit jenaka membuka kedua bibir yang tak tahan lagi untuk melepaskan katup.

Puisi itu...
Puisi ini.

Puisi diam tanpa koma
Yang membuat ringai tak percaya, gembira, di wajahnya..

Puisi yang membuat kau tertawa,
Aku hanya membalasnya dengan senyum tanpa dosa.

Dan benar...
Diam itu tanpa koma,
Karena tak ada huruf yang memulainya.

Masih muakkah ?
Read More

Ujung Keraguan


Semuanya telah berlabuh
Dan disini...
Ku masih saja berlayar di laut ragu
Menyusun setiap luka yang semakin membuatnya perih

Biarlah...
Toh, aku menikmati kebingungan ini

Kepasrahan yang tak bertepi
Karena sebuah keyakinan yang terlalu dalam terpatri,
Allah yang Maha Mengetahui
Sang Tahu semua isi hati...

Biarlah...
Toh,aku menikmati kebingungan ini

Jadi berhentilah menghakimi.
Tak ada yang berhak menjadi seorang hakim..
Karena usaha seseorang bukan hanya untuk sepasang mata.
Mengadili sekalipun rasa yang kau sendiri tak mengerti...
Ngerti ?!

Biarlah,
Toh aku menikmati kebingungan ini

Cerita-Nya lebih indah dari cerita yang kuharapkan
Meski itu sungguh membuatku semakin sedih

Toh,Allah ujung dari semua ragu di muka bumi..

Toh...

Toh.

.

...
...

Tetap saja sakitnya sampai ulu hati.


by: umi_k
Read More

Senin, 18 Juni 2012

Tapak Dua Iman


Untuk seseorang yang bernama Toni, yang bahkan nama panjangnya tak ku ketahui. Hanya dua hal yang aku tahu mengenai dirinya. Pertama, ia kuliah di Solo. Dan kedua, ia seorang kristiani. Aku selalu berusaha untuk memperlakukan dia seistimewa yang aku bisa,  meski aku hanya dapat memejamkan mata untuk mengingat wajahnya. Walau semestinya aku tak kehabisan waktu untuk mengenalnya lebih jauh, namun sayangnya aku sendirilah  yang tak mau. Karena hanya dengan informasi seminim itu saja, ia sudah membuatku segila ini. Sampai kata-kata ini terangkai, aku hanya sekali seumur hidup bertemu dengan dirinya.

Aku percaya seutuhnya, bahwa perasaan cinta itu adalah kuasaNya. Ia yang menempatkan perasaan indah itu di dalam hati kita, walau terkadang perasaan itu kurang masuk di akal, sungguh manusia tak dapat mengatur perasaan yang ia rasa. Sisanya, manusia hanya bisa menganggap itu sebagai anugrah atau sebuah musibah. Karena Allah kadang memberikan ujian melalui perasaan manusia yang rentan. Bahkan seorang homo atau lesbian sekalipun,    keduanya tak pernah mengharapkan perasaan cinta itu bersemi pada satu kaumnya. Mereka tak bersalah,   namun bukan berarti Allah-lah yang bersalah. Ia hanya ingin tahu, seberapa besar pengaruh iman-Nya dalam hidup kita. Yang pasti, Allah telah menciptakan jodoh kita. Entah melalui jalan yang mana. Jadi meski sekeras apapun kita berusaha mencari pasangan,  kita akan bermuara pada pilihanNya. Termasuk bila kita hanya diam saja, aku percaya…Allah mempunyai berbagai cara untuk mempertemukan kita dengan jodoh pilihanNya. Karena sungguh, jodoh itu urusan Allah.
Tak ubahnya dengan perasaanku, aku pun tak menyangka dapat merasakan perasaan cinta pada lelaki yang menolongku waktu itu. Aku benar-benar terpaku saat memandang matanya, tak ada yang istimewa…hanya detak jantungku berdenyut ekstra. Meski aku baru sadar, ternyata aku tak bernafas saat menikmati lekuk wajahnya. Terpaku aneh dengan perasaan yang tiba-tiba bergejolak entah karena apa.
Stasiun. Tempat dimana untuk yang pertama kalinya, aku merasakan perasaan itu, dan dengan kebodohanku, aku simpulkan…rasa itu adalah C.I.N.T.A.
“Awas saja, kalau buku-buku ini dibawa mereka ke tempat loak lagi!” gerutuku saat menelusuri lantai stasiun yang ditemani beban kedua kardus berukuran sedang,  dikedua tanganku. Maklumlah,  aku sedang menjadi aktifis kegiatan  sosial. Kesibukanku saat ini menggerakkan minat baca pada kalangan penjaga kebersihan lingkungan ber-strata rendah, atau yang lebih dikenal dengan pemulung. Mungkin terlihat sepele, karena objekku adalah anak-anak putus sekolah. Namun kesabaranku benar-benar terkikis ditempat itu,  terlepas karena keadaan fisik lingkungan hidup mereka. Bayangkan saja, aku sengaja membelikan buku-buku layak baca dengan uang pribadiku,  berharap mereka membaca meski hanya satu baris kalimat saja. Dengan antusias mereka berebut untuk memperoleh banyak-banyak buku, sungguh…itu adalah peristiwa yang membuat kedamaian di dalam jiwaku. Namun ternyata, semua buku itu berakhir di ujung pengepul bersama sampah-sampah lainnya.
“Lalu untuk apa selama tiga bulan terakhir ini, aku mengajari kalian membaca dan menulis. Bahkan untuk satu kata saja, kalian enggan membacanya…”
Mereka terdiam, kuperlakukan mereka layaknya orang dewasa yang mengerti kata-kataku.
            “Disini adalah pengorbananku. Ditempat inilah perjuangan kalian, perjuangan untuk kehidupan yang lebih baik lagi dari se-onggok* sampah. Bagaimana perasaan kalian, saat predikat sampah masyarakat menempel pada pekerjaan kalian yang sebenarnya begitu berat. Saat kalian bisa membaca, dan banyak membaca…saat itulah peluang pekerjaan baru aku tawarkan kepada kalian. Menjadi seorang penulis, pekerjaan yang lebih baik dibandingkan memulung. Pekerjaan yang membuat harga diri kalian tidak lagi terinjak dengan pandangan sebelah mata…”
Ku hela nafas untuk sejenak memandangi wajah mereka yang polos dan masih terdiam. Mungkin mereka sama sekali tak mengerti apa yang aku katakan, namun hanya itu pelampiasan kekesalan yang bisa kulakukan.
            “Sudahlah, kalian boleh pulang. Mungkin sebenarnya akulah yang gagal...”
Dan aku benar-benar sedang putus asa.
“Mungkin kita sudahi sampai disini saja, hari ini adalah hari terakhir kalian melihat kakak sebagai pengajar. Kakak takkan lagi mengganggu kesibukan kalian, tak ada lagi buku yang bisa kalian baca. Itukah yang membuat kalian senang…?”
Aku merobek buku yang ku pegang secara perlahan. Dan mereka masih saja terdiam…
            Setelah seminggu tanpa kehadiran mereka dalam kesibukanku,  aku sadar satu hal…ternyata aku tak rela,   semua perjuanganku untuk membuat mereka membaca selama ini terbuang sia-sia begitu saja, tanpa hasil. Karena itulah, aku akan memberikan kesempatan kedua untuk mereka dan diriku sendiri. Pasti ada jalan yang lebih indah dari keterbatasan yang kami rasakan selama ini.
            Dengan alasan itulah, aku menenteng kedua kardus itu sebisaku. Dan ditemani kekesalan akan buruknya pelayanan kereta ekonomi, remuklah sudah semangatku untuk menebarkan senyum.
Bbruuuuuk !
Seseorang menabrakku. Ujung gitar yang ia bawa memukul kearah dada, tepatnya dibekas jahitan operasi kangker yang pernah kudera. Rasa sakit yang tiba-tiba menusuk membuatku menjatuhkan kardus yang kubawa. Berseraklah sebagian isi yang ada di dalamnya. Dan aku merasa begitu lemah, saat aku sedang menikmati pesakitan itulah…
Sosok laki-laki yang entah datang dari mana, menolongku dengan pesona seutuhnya. Rasa sakit menjelma sebagai kesempatan untuk menikmati ia lebih dekat. Dan waktu yang sesingkat itu pun terasa begitu lama saat aku tatap matanya. Itulah keindahan, terlepas dari seberapa ganteng, kaya, pintar, ataukah hebatnya dia…tak ada pengaruhnya, karena saat itulah yang menghidupkan perasaan kita adalah kuasaNya. Dan sekali lagi, aku begitu menikmatinya…
“Bang Toni !!!!”
Suara pedagang asongan cilik membuat aku tersadar kedalam dunia nyata.
“Sudah merasa lebih baik ?” suara sangaunya terasa begitu lembut.
“Lumayan.” Jawabku begitu singkat, seolah hanya ingin menikmati setiap tingkahnya saja, tanpa memperhatikan diriku sendiri…
“Bang Toni, cepet! Nanti ketinggalan…” suara cilik itu sungguh membuatku merasa terganggu.
“Sebentar, kamu kesana dulu saja, nanti abang nyusul…” lelaki itu menyahut tanpa melepaskan pandangannya kearahku. Dan detik itulah, aku merasa menjadi wanita yang istimewa baginya untuk sebuah moment. Meskipun hanya beralaskan kasihan atau menolong sesama, aku tetap merasa itu begitu indah…
“Sudah Mas, saya sudah baikan…” meski sebenarnya aku enggan ia pergi, keperluannya yang telah sedia menanti, membuatku tak enak hati.
“Tidak apa, Mba. Bukan urusan penting, hanya ngamen puisi dipinggir trotoar depan stasiun…” ucapnya sembari membereskan ceceran buku yang berserak.
“Makasih Mas…” ucapku tersipu entah karena apa, yang pasti ini untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan seperti ini sepanjang hembusan nafasku. Ia hanya membalas dengan senyuman seperti kebanyakan orang lainnya.
“Kuliah dimana ?” pertanyaanku membuat ia sejenak menghentikan aktifitasnya. Kemudian memandangiku lekat-lekat, sontak aku seperti telah memberikan pertanyaan bodoh yang tidak memerlukan jawaban. Untuk waktu yang cukup lama, kami berdua hanya saling terdiam. Dan tiba-tiba….
Ia tertawa begitu lepas, fenomena seperti itu membuatku ikut tertawa. Tertawa karena melihat tawanya.

            “Selama aku disini, baru kamu yang bertanya hal seperti itu padaku. Padahal, sebelumnya sekalipun, orang-orang disini tidak percaya kalau aku mengaku sebagai seorang mahasiswa….”
Ia kembali tertawa. Kemudian sejenak mengatur nafas untuk menjawab pertanyaanku…
            “Aku kuliah di Solo,” jawabnya singkat. Kemudian menyerahkan tumpukan buku yang sudah tertata rapi kepadaku. Detik selanjutnya, aku tak punya daya…
Mataku menangkap tato bergambar salip di pergelangan nadinya, tulisan kristiani melingkar indah melindungi tato sederhana itu. Entahlah, aku tak pernah berharap banyak. Namun rasa kecewa tiba-tiba ada, sekali lagi…entah karena apa.
“Sudah dulu ya, lain kali harus lebih hati-hati…” petuah dan senyum manisnya kali ini tak mengubah wajahku yang datar, mungkin karena shok. Kenapa berbeda keyakinan ?! Aku benar-benar tidak memiliki kesempatan. Ku tenggelamkan wajahku diantara tekukkan kedua lututku, menarik nafas sepanjang yang aku bisa. Namun, ada sesuatu yang mengganggu di punggungku. Ku angkat wajahku untuk mengetahui apa itu. Dan ternyata…
Yang ku dapati adalah wajahnya. Detak jantungku kembali bekerja dengan ekstra.
“Kerudung kamu…” kerudungku yang tersingkap sedikit, ternyata mengusik ia untuk kembali kearahku. Dan kali ini ia benar-benar pergi…
            “Masih ada kesempatan…” ucapku lirih. Entah kesempatan seperti apa, yang dapat ku kenali. Kesadaranku kembali pada rasa sakit yang terasa lagi di rongga dada sebelah kiri…
            Setibanya dirumah, mataku kembali tercengang. Kehadiran keluarga besar Ustadz Ashfan, memaksa salah satu alisku tercincing ke atas. Rupanya petualanganku berburu buku bekas di Semarang, telah menghilangkan begitu banyak peristiwa dirumah. Sebenarnya tidak aneh jika paman Ashfan berkunjung, maklumlah beliau adalah sahabat karib Abi. Mereka sering berdakwah bersama. Namun semuanya terasa janggal, saat putra sulungnya pun ikut hadir dalam perkumpulan dua keluarga besar itu. Jangan-jangan…
            “Tsuni…?!” ucap Umi tertegun melihat kehadiranku di daun pintu.
            “Kenapa tidak memberi kabar kalau mau pulang? Setidaknya kan ada yang jemput…” Abi ikut terbawa kaget. Sejurus kemudian, menyuruh amang Upat membawa kedua kardus bersejarah itu.
            “Subhanallah, rahmat-Nya senantiasa terasa…” celetuk paman Ashfan membuat aku merasa sedikit risih, saat lirikannya mengarah kearah Albab, selaku putra sulungnya. Albab tersenyum segar melihat kearahku yang masih kucal.
            “Assalamualaikum…”
Salamku terasa tak berselera, seiring dengan fikiran yang bermunculan akan maksud kehadiran Albab. Kucium tangan orang-orang yang ditua-kan, dan memberikan sedikit senyum kecut kearah Albab. Sebenarnya tak ada yang salah dengan Albab, hanya saja…seluruh kesempurnaan yang ia miliki, semakin mengucilkan keberadaan perasaanku terhadap Toni. Dan itu yang tidak aku sukai.
“Aku istirahat dulu, Bi…”
Ucapku lesu tanpa minat berarti. Tapi langkahku terhenti, saat Umi membisikkan sesuatu…
            “Ada yang ingin Albab bicarakan kepadamu, temuilah sebentar. Tak segan kau pada paman Ashfan ???”
            “Tak bisakah esok-esok hari, aku sangat lelah Ummi…”
            “Besok Albab sudah pergi ke Turki untuk studi, penerbangannya tinggal dua jam lagi. Sebenarnya, kedatangan mereka untuk melamarmu. Tak disangka, jodoh tak lari kemana. Kamu tiba-tiba datang. Setidaknya, biarkan Albab berbicara langsung kepadamu tentang maksud hatinya. Dia ingin mengikatmu dalam tali pertunangan, dua tahun lagi…setelah ia pulang dari studinya, pernikahan baru dilaksanakan…”
            Sungguh aku tak mengerti maksud Tuhan, masih tersisa debar perasaan itu untuk sosok penolongku. Tiba-tiba situasi memaksaku untuk terpaku. Albab adalah sosok imam idaman bagi   wanita karena kesholehannya, ditambah predikat anak kyai membuat wibawanya semakin tinggi. Masalah harta, tampang, dan kecerdasan  tentu tidak perlu ditanyakan lagi bagi kedua orang tuaku. Namun sayangnya, Allah tidak menurunkan perasaan aneh itu. Hingga sesempurna apapun ia, tak ada yang istimewa di hatiku. Dan itu bukan salahku. Tanpa sepengetahuan orang tuaku, aku menolak ikatan yang ia tawarkan.
            Semua wanita yang beriman, tentu ingin memiliki suami yang mempunyai pengetahuan agama yang dalam sebagai panutannya di sebuah ikatan pernikahan. Dengan sadar ku tepis harapan itu demi sosok yang bahkan tak ku kenal. Hanya karena sebuah perasaan yang bahkan masih dalam bentuk pertanyaan, benarkah rasa yang ada ini cinta?
            Aku tahu dengan pasti, tak ada kesempatan sedikit pun tentang perasaan yang aku rasa. Bagi keluarga kyai, pernikahan berbeda agama itu haram hukumnya. Namun entah kenapa, masih saja aku ingin mempertahankan rasa ini. Dalam surat al-baqoroh ayat 221, telah menjelaskan…
            “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari pada wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
         Tak ada sesal sedikitpun setelah membaca ayat itu. Entah karena apa, mungkin karena kebodohan yang membutakan fikiranku atau apa. Aku sama sekali tak tahu, perasaan ini mengalir begitu saja. Bahkan dilema yang kurasa, adalah harapan akan ke-islam-annya. Mungkin ini tentang keegoisanku saja, karena semuanya hanya bersumber dari diriku, hidupku, agamaku, kitabku, surgaku, dan harapanku. Aku sama sekali tidak memperhatikan dunianya, karena aku pun tak mengenalnya.
Masalah yang bersarang, bahkan membuyarkan rasa sakit yang kadang ku rasa di dada. Untuk keislamannya, aku sengaja mengkhatamkan al-Qur’an, puasa sebulan penuh dengan di sisipi puasa “muteh” selama tujuh hari berturut-turut. Atas izinNya, bahkan aku tak menstruasi dalam penuntasan misi tersebut. Sholat hajat, tahajud, witir, dan taubat senantiasa menghiasi sholat lima waktuku. Bahkan Ummi merasa takut, bahwa perubahan sikapku merupakan tanda akan dipanggilnya diriku oleh Sang Penguasa. Tawaku pun tercipta akan prasangka yang Ummi sandang.
Aku tak peduli, entah ia akan menjadi pendamping siapa. Sekalipun tidak menjadi imamku, aku rela melihat kebahagiaannya. Yang penting ia islam. Meski ia tak mengenalku di dunia, aku masih berharap dapat bertemu dengannya di keabadian waktu dalam surga. Surga dalam imanku.
Namun, bila ia memang jodohku…
Setulus hati aku rela dipinangnya meski hanya dengan syahadat, dan ber-mas kawin-kan keislamannya.  Sungguh, ia telah menggenggam ridhoku sebagai istri. Aku rela menuntunnya sholat, menungguinya wudhu, dan mengajarinya baca-tulis al-Qur’an. Semua pengetahuanku tentang islam, akan aku jadikan bahan untuk membuatnya menjadi imam yang baik bagi rumah tangga yang kami naungi nantinya. Meski waktuku telah habis untuk itu, sama sekali tak ada sesal yang tersisa.
Namun, anganku terlalu jauh. Karena misi keagamaan yang aku jalani itu,  semakin membuat parah kondisi kesehatan yang aku anggap baik. Ternyata, sel-sel kangker yang dulu bersarang dalam payudaraku masih tersisa. Sel-sel jahanam itu, diam-diam telah menggerogoti organ vital dalam tubuhku. Pantas saja, payudaraku terasa membesar dengan tak wajar.
Hebat nian kekuatan sebuah cinta, hingga ia membuatku tak merasakan siksaan penyakit yang ada. Hingga kesadaranku muncul, saat penyakit itu sudah terlanjur parah. Lalu apa yang harus aku lakukan ?!
Aku yakin, kematian itu adalah takdir Allah yang tidak bisa diubah. Apapun jalan cerita yang ia ciptakan, bila sudah waktunya…maka ia akan mati. Entah kapan, dimana, dan bagaimana. Setiap orang akan melewati sesi itu. Yang pasti, kematian itu jalan untuk bertemu dengan Sang Kholik. Terlepas dari seberapa banyak dosa maupun pahala yang telah kita perbuat. Toh, Allah Maha Pengampun. Semua mahluk yang beriman, insyaallah masuk surga. Surga menurut imanku. Jadi, tak ada lagi alasan untuk tak tenang bagiku dalam menanti kematian. Masih saja tak ada sesal, atas semua perlakuan istimewa yang aku berikan untuk Toni. Ini adalah sebuah keindahan yang patut untuk disyukuri. Karena menjadi perhiasan yang mengiringi hembusan nafas terakhirku…



Mencintaimu adalah sebuah romantisme,
Meng-ikhlaskan dirimu adalah sebuah jalan pilihan,
Membuat cerita tentang dirimu adalah bukti…
Bukti akan adanya arti dari kata mencintai…

Read More

Bias Bianglala dalam Senja


Sejarah. Waktu yang seolah terus menarikku untuk hanyut dalam sebuah waktu yang lalu, menghentikan waktu untuk membuatku terus pada sebuah kejadian-kejadian itu. Kejadian yang tak mungkin abadi, dan perlahan dengan pasti tergerus oleh setiap detik yang berjalan maju...
          Dan itulah yang menyiksa sisa-sisa umurku, diriku yang masih membawa pengharapan seorang gadis polos yang begitu terbuai oleh perasaan. Hingga kini aku yang sudah tertatih, di usia yang menginjak 88 tahun. Masih menimbun harapan  untuk bertemu dengannya, meski hanya sekali saja, sebelum akhirnya aku menutup mata ditengah-tengah penantian janjinya.
Takashima, semoga kau tak lupa...
Disini,
Aku masih menunggu kedatanganmu.
          Suara peluit kereta tak lagi dapat kudengar, gerak-gerak manusia yang bergegas menjelma menjadi sebuah pertanda bagiku. Tua, telah menggerus fungsi telingaku. Pikun, mungkin aku memang sudah pikun. Namun kepikunan tidak menghapus memoriku tentang lelaki berbangsa Jepang yang berjanji padaku. Janji yang membuat aku bertahan dalam sepinya kesendirian dan berpegang teguh pada pengharapan yang entah kapan ujungnya. Disetiap rutinitas kehidupanku, selalu berhias penantian akan kedatangannya. Itulah kebodohan yang mereka bilang, hingga puluhan tahunpun aku rela menunggu kedatangannya dikala senja...
Ataukah sebuah ketulusan.
Yang bodoh...
          Seperti senja-senja sebelumnya, ditemani tongkat kayu disampingku. Aku duduk di bangku tunggu stasiun. Melihat dengan mata rabunku ke gerombolan orang yang berdesak untuk turun, berharap salah satu dari mereka adalah Takashima. Sendiri. Dan ternyata dia tetap tak ada. Menunggu perhentian kereta berikutnya, dan begitu terus selanjutnya.
          Dan ditengah penantian itu, kenangan tentang dia terus abadi dalam ingatan masa laluku...
          Sebagai salah satu anak bupati di waktu itu, mungkin statusku sudah cukup tinggi dibandingkan rakyat pribumi lainnya yang tak dapat mengenyam pendidikan. Dan karena kedudukan Ayahku pulalah, keluarga kami cukup dekat dengan para kompeni, sekaligus penjajah negeri yang berkuasa saat itu. Maklumlah, saat itu Bupati sangat tunduk dengan kolonial.
          Setiap kebijakan yang dilaksanakan harus ada pengawasan dari para menir Belanda. Hingga Jend. Jhonness harus tinggal satu atap dengan keluargaku saat keadaan waktu itu dianggap sedang memanas. Berkat Jend. Jhonesslah aku mengenal Takashima, tentara Jepang yang berstatus sebagai asissten Jend. Namun ternyata, pada kenyataannya ia adalah seorang tahanan perang. Yang pada akhirnya harus pulang ke negri asal karena sebuah peraturan dari akibat peperangan.
          Saat mendampingi Jend. Jhoness selaku tamu istimewa keluarga itulah, mungkin karena saat itu penjajahan Jepang yang begitu sadis, aku sangat membencinya. Sekalipun aku juga membenci Jend. Jhon, karena pengaruh kekuasaannya...aku tak berani mengusik orang yang sudah lebih tua itu. Tapi lain lagi ceritanya untuk lelaki Jepang yang mengekor dibelakangnya. Orang-orang Jepang itu, ingin sekali aku jitak kepalanya hingga ia kehilangan semua rambut dikepala. Umurnya yang tidak begitu jauh denganku, dan kedudukannya sebagai asisten atau lebih tepatnya babu. Membuat aku leluasa untuk memberinya pelajaran karena sudah menjajah bangsaku, dan menggerogoti daging pribumi melalui romusa yang keji.
          Setiap tugas yang ia kerjakan sebisa mungkin aku grecoki melalui hal-hal sepele yang menyusahkannya. Membuat ia mengerjakan ulang tugasnya, dan melihat lototan matanya yang sipit saat memandangku.
Dan aku fikir, ia pun menjadi membenciku karena ulah-ulah itu.
          Namun ulahku tak ada apa-apanya dibandingkan ulah bangsanya yang telah merenggut ketentraman anak pribumi. Ini tak seberapa, tak seberapa dibanding dengan kelaparan-kelaparan yang melanda, kerja tanpa upah, dan pengakuan mereka sebagai saudara tua yang berisi omong kosong belaka. Membodohi dengan begitu mudahnya...
          Sampai suatu saat, aku kepergok menumpahkan tinta di tumpukan kertas yang ada diatas meja kerjanya.
“Kyaaaaa.....”
          Aku terus berlari, tanpa tujuan berarti. Tenagaku hanya untuk menjauhinya, namun mungkin karena kekesalan yang sudah memuncak, ia tetap saja tak menyerah dengan mudah. Hingga langkah kakiku telah menjauhi pendopo dan lingkungan kabupaten...
Kekuatanku tetap saja kalah dari kekuatan lelaki, sekalipun nafas kami yang seutuhnya masih tersengal-sengal.
Cuih!
Aku meludahi wajahnya, saat kedua tanganku ia kunci dengan kedua tangannya. Kemarahan yang muncul melalui perangai wajahnya, tak menyurutkan aku mengucapkan kalimat...
“Nippon TAI!!!”
Ia masih terdiam menahan amarahnya, mungkin masih mempertimbangkan diriku yang hanyalah seorang wanita lemah.
“Suatu saat nanti, lihat saja...”
          Kalimat yang masih menggantung dan beraksen Jepang itu terdengar asing dan tak jelas ditelingaku. Yang pasti, saat itu sesungguhnya ketakutanku telah berada pada puncak yang tersamarkan oleh keberanian semu.
“Aku akan mencium bibir yang meludahiku itu.”
Ia melepaskanku begitu saja, lalu meninggalkanku sendiri. Kali ini, ketakutan benar-benar nyata. Tubuhku merinding mendengar ujung kalimat yang keluar dari mulutnya. Dan aku semakin menggila saat ia ternyata kembali kearahku.
“Kamu bisa memegang janji yang diucapkan orang Jepang. Camkan itu...”
Aku tertegun, dan membalas dengan teriakan...
“NAJISSSSS!!!!”
Tak ku sangka, ia hanya tersenyum menanggapinya.
          Mulai detik itu, sungguh. Aku enggan mengusik dirinya, ku usahakan untuk menghindari segala sesuatu tentangnya. Namun ternyata, kini giliran dia yang membalas dendam. Dengan “senjata” yang membuatku kikuk sebagai seorang gadis.
“Nippon anjing...”
Keluhku saat ia melancarkan serangannya.
                Dan saat kami sudah lelah dengan permainan yang tak tahu kapan dimulainya, “perang”pun berakhir.
            Disaat itulah, ada perasaan yang berbeda saat aku memikirkannya. Termasuk tatapannya saat memandangku. Tatapan aneh yang tak bisa kujelaskan. Perasaan aneh yang tiba-tiba muncul, sikap kikuk yang tiba-tiba hadir diantara kita. Apa mungkin ???, mungkin saja ia. He.em... tatapan seseorang yang memiliki “rasa”. Tatapan yang terkandung sayang, rindu, bahkan mungkin ada sedikit cinta. Tatapan kekasih yang sedang melihat orang yang sedang ia cintai. Mungkin, atau mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu percaya diri...
          Suasana bangsa semakin memanas, pemberontakan ada dimana-mana. Keluargaku dianggap sebagai penghianat bangsa, karena melindungi kompeni. Pribumi yang memberontak mulai menyerang keluargaku. Kadipaten mulai mengasingkan seluruh keluarga bupati. Termasuk aku. Dan entah karena alasan apa, aku ingin mengetahui keadaan Takeshima yang kabarnya membela kadipaten.
          SrrrEEEt!
Lenganku ditarik seseorang hingga robek, dan ternyata...
“Sedang apa kamu disini? Tidakkah kau sadar, dirimu sedang ada pada cengkraman bahaya?! Pergilah lewat belakang dinding kayu, keluargamu pasti sudah khawatir menanti kehadiran dirimu...”
DoAAArrr !!!
Letusan bom mendaratkan aku dipelukan Takashima. Dan akhirnya aku sadar satu hal...
          Deru tembakan dan hiruk pikuk peperangan kala itu, entah dimana jeritan yang melolong. Semuanya terasa tak ada, karena dibawah meriam dan diantara bau mesiu... Takashima menciumku. Sentuhan bibir mungil nan lembut itu terasa hangat menenggelamkan kejamnya sebuah peperangan. Membuatku membalasnya, karena ternyata perasaan inilah jawaban dari semua pertanyaan aneh yang ada dibenakku.
          Suasana mereda, setelah ada pada keputusan pengembalian semua tawanan perang tentunya berasal dari Jepang, harus dikembalikan ke negri sakura. Dan aku...
Hanya dibekali sebuah janji...
“Aku akan kembali, entah kapan waktu itu akan tiba...tunggu aku. Tunggu aku distasiun ini. Pegang sekali lagi janji orang Jepang. Aku akan memenuhinya, seperti janjiku sebelumnya.”
          Di stasiun ini ia pergi, dan berjanji akan kembali. Tujuannya ialah ke ibu kota negara, untuk akhirnya berujung pada bangsa kelahirannya.
          Kereta selanjutnya tiba, tetap tak ada sosok yang kucari. Senja kini telah berganti menjadi malam. Dan berakhirlah penantianku untuk hari ini. Esok hari, penantian yang menjadi rutinitas dikala senja telah menanti.
          Langkah kaki ku terseret setelahnya oleh tongkat yang menopang. Yah, aku memang sudah tua. Seperti senja yang lambat laun pasti kan berubah menjadi malam. Tentu lambat launpun aku akan mati. Tapi, Takashima...
Sampai kapan lagi aku harus menikmati penantian ini.
Takashima, apakah...
Sebenarnya dirimu sudah mati lebih dulu dari aku ??
Ah, malam tetap malam.
Biarlah menjadi sebuah malam, seperti malam-malam sebelumnya...

Read More

Lenyap dalam Lelap


Dia tertidur,
Sangat lelap...
Lelah telah membuat kedua matanya enggan terbuka, letih membuat raganya seperti tanpa jiwa. Lelah dan lelah, letih dan letih, hingga seperti...
Mati.
Pasrah dan pasrah, seperti...
Tak berarti.
            Dia terkapar diatas lantai zaman yang sedikit demi sedikit menggerogoti semangatnya untuk berkoar-koar. Menjeritkan suara-suara pengecut nomer wahid, yang hanya diam. Patuh menjalankan aturan yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Menuju titik yang mereka sebut ke-normal-an. Karena itulah satu-satunya jalan untuk memperpanjang nafas mereka, mematuhi aturan, yang sesungguhnya merupakan lorong kematian yang perlahan-lahan meminta siksa. Tapi sayangnya, mereka belum menyadari itu. Kebodohannya terpelihara oleh kemiskinan yang entah sampai kapan akan berakhir.
Hidup dengan kesia-sian, mati tak dikenang.
Itulah normal !
            Namun dia, kini telah lelah memperjuangkan mereka yang masih saja diam. Letihnya membuat ia sadar akan ketidakpedulian. Dan sekarang, ia sudah tidak peduli. Acuh tak acuh. Ia hanya ingin...
Tidur.
            Memang keinginan itu terlihat begitu sederhana, tapi untuk seorang dia... itu berarti ‘kesempatan emas’ bagi mereka yang ingin menyingkirkannya. Mereka yang menganggap dia berbahaya, mereka yang takut hembusan nafasnya akan menyadarkan orang-orang yang selama ini mereka bodohi. Orang-orang ceking yang menciptakan timbunan lemak ditubuhnya, orang-orang yang ia buat miskin untuk membuat kekayaannya, orang-orang yang ia kibuli dengan kalimat akademis yang meyakinkan.
Mereka, yang mengizinkan kebusukan merasuki dan mengalir dalam aliran darah, menyatu dalam degup jantung dan berlabuh diotak yang menjelma menjadi fikiran. Dan berakhir pada sikap yang mereka cerminkan. Tingkah-polah mereka yang busuk, sangat busuk. Karena kebusukan yang tercipta dari bangkai penderitaan, bangkai kebohongan, bangkai kecurangan, bangkai kejahatan, bangkai kebodohan dan bangkai ketidakpercayaan. Menyerbak dengan anggun meminta tumbal dari kemiskinan, dan berubah menjadi malaikat maut bagi mereka yang diam. Mereka yang yakin akan kepedihan itu normal. Dengan mudahh syetan menjadi raja dunia.
Dunia yang masih menganggap harta adalah ukuran kesuksesan, kesuksesan yang menghalalkan cara untuk mencari harta. Harta yang menyamarkan agama dan keyakinan, keyakinan yang terlihat seperti tak ber-Tuhan. Tuhan yang dianggap buta, tuli, dan omong kosong. Omong kosong mengenai surga dan neraka. Neraka yang tidak lagi mereka takuti atas kebusukan yang mereka lakukan.
Mereka itu jamaah, kawan!
Mereka itu ada disekeliling kita...
Mereka itu yang membuat penderitaan orang lain untuk kesenangan yang akan mereka rasakan.
Mereka itu...
Jangan-jangan kamu ?!

Dia masih tertidur dengan lelap. Sangat lelap. Lelap sekali. Amat lelap...

Tangis tanpa suara yang saya lantunkan pun, tak dapat ia dengar. Jangan lelah, hapus letih yang kau rasa itu. Bangunlah...
Bangun.
Bangun...
Bangun!
Tidak berfikirkah kau...
Siapa yang lebih berani dari kamu, untuk melawan mereka dan menyadarkan kami yang masih terpaku dalam diam.
Siapa yang rela mengorbankan hidupnya, untuk berjuang demi kehidupan pengecut  yang masih berharap akan perubahan kesejahteraan.
Tidak sadarkah kamu, tak ada!
Takkan ada orang yang seperti itu,
Selain dirimu.
Sedikit lagi saja, mungkin akan timbul keberanian dalam diri kami. Untuk berjuang sendiri menghentikan penindasan terselubung ini.
Perjuanganmu hampir berhasil, gerakanlah kelopakmu untuk melihat buah jerih payahmu selama ini...
Namun ia masih terlelap.
Diam dalam ringkukan raga yang tergeletak diantara senyapan malam. Sunyi tertelan kebisuan yang tak mungkin terganti oleh derak ranjang. Begitulah tergolek kedamaian sesaat, yang terlepas oleh tanggung-jawab rekaan.
Tak berkutik.
Terlelap begitu indah, sempurna.
Tertinggal seorang diri...
            Malam yang bergelanyut manja, membuat cahaya bulan mengintip malu menyaksikan kemesraan yang terajut antara ia dengan malam. Membiaskan derapan langkah kaki yang merapat dengan tegas, teratur, dan sigap. Langkah kaki yang mungkin akan menginjak nyawanya atas dasar cacing didalam perut mereka yang berontak. Detak jam silih berganti mengiringi nada derap langkah kaki yang kian dekat dengan mengendap-endap.
Tak berkutik, tak terganggu, dan masih tak terdengar.
Geliat tubuhnya hanya membuat derap langkah itu terhenti sesaat, begitu hati-hatinya hingga  malam pun mereka tipu dengan cahaya remang yang mereka bawa. Bodohnya, atau sebenarnya mereka memang terlalu genius untuk membuat rekaan keadaan. Paling tidak untuk menipu mata manusia yang hanya bisa melihat dalam ambang batasan.
Sungguh kasihan mereka, pasukan derap langkah malam. Budak dari kepentingan yang menguntungkan segelintir orang. Membunuh untuk sebuah kepentingan, mereka yang tak bernama, tak dikenal, pelantara dosa dan tangan bersimbah darah para pengharap perubah keadaan. Mengisi perut sebagai pelantara yang berhati baja, sekeras intan tak terjamah orang. Pendosa yang ditumbalkan oleh para tangan-tangan suci yang memberinya kehidupan. Tangan-tangan suci yang menimbun dosa karena tak takut pada Tuhannya, dan menganggap dosa itu tak ada. Tangan yang bersih namun bersimbah dosa yang bahkan tak dapat ia lihat dengan mata manusianya. Karena mata mereka sebenarnya telah buta, sehingga kegelapan pun mereka lihat sebagai cahaya. Buta akan dunia. Sungguh kasihan mereka, pasukan derap langkah malam. Tangannya kotor untuk tangan-tangan suci pemberi kehidupan.
Lelapnya kini telah berganti dengan ketidaksadaran.
Matanya terpejam entah kapan akan kembali terpejam.
Raganya lemah tak berjiwa.
Mayatnya entah terurai dimana...
Lenyap begitu saja.
            Mungkin sekarang, kita harus berkoar sendiri. Mengubah keadaan untuk menuju perubahan yang kita impikan ini. Mereka tidak lebih kuat dari kita, orang-orang yang membodohi kita itu tidak lebih banyak dibandingkan korban-korban yang mereka bodohi. Jadi tak usah takut dengan nyawa yang kan hilang. Karena saat keberanian itu muncul, maka tak kan ada yang berani untuk bertindak busuk. Karena apa ?! Karena kita semua ingin kehidupan yang lebih baik, karena kita sudah muak dengan orang-orang yang busuk. Karena kita sudah lelah...
Hanya dapat bermimpi untuk kehidupan yang lebih baik.
Hanya bermimpi,
Karena kita hanya diam.
Maka, janganlah kita diam lagi!
Bergeraklah untuk mengakhiri penderitaan ini.
Ketidak-adilan ini.
Pembodohan ini.
Melalui jalan hidup kita masing-masing.
Menciptakan surga, setidaknya untuk kehidupan yang bersih. Tanpa ada kebusukan lagi.
Saat ini,
Ditengah carut-marutnya dunia politik, yang saling mempertahankan kekuasaan tanpa melihat apa yang sedang terjadi dibawah. Entah peri keadilan hinggap dimana, hingga hukum negara terlihat begitu rendah untuk dijamah. Pengusaha terlihat begitu kelaparannya hingga menggeruk habis semua yang dapat ia rengkuh, seakan ia dapat menghisap semua sumber daya. Kemiskinan yang terasa enggan berpaling, seolah telah menetapkan kita sebagai belahan jiwanya. Korupsi yang menjadi bayang-bayang kesengsaraan, entah kapan akan terungkap siapa pemiliknya. Dan ribuan jebakan dalam cobaan Tuhan lainnya, yang kan menuntut kita untuk lebih kuat menghadapi itu semua.
Dimulai secara perlahan.
Dimulai dari yang kecil.
Dimulai dari diri kita sendiri.
Dimulai dari sekarang.
Kita bisa, meski mungkin akan berjalan tertatih...
Karena kita yakin, Tuhan itu ada.
Ia tak akan lenyap dalam lelap...
Karena Ia tak pernah terlelap.

by : Umi_k
Read More
fr33Zoonecustume. Diberdayakan oleh Blogger.

PopullaryierZ

© Fr33Zoone, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena