Zona yang membebaskan fikiran, khayalan, keinginan, dan harapan. It's just fiction.

Senin, 18 Juni 2012

Bias Bianglala dalam Senja


Sejarah. Waktu yang seolah terus menarikku untuk hanyut dalam sebuah waktu yang lalu, menghentikan waktu untuk membuatku terus pada sebuah kejadian-kejadian itu. Kejadian yang tak mungkin abadi, dan perlahan dengan pasti tergerus oleh setiap detik yang berjalan maju...
          Dan itulah yang menyiksa sisa-sisa umurku, diriku yang masih membawa pengharapan seorang gadis polos yang begitu terbuai oleh perasaan. Hingga kini aku yang sudah tertatih, di usia yang menginjak 88 tahun. Masih menimbun harapan  untuk bertemu dengannya, meski hanya sekali saja, sebelum akhirnya aku menutup mata ditengah-tengah penantian janjinya.
Takashima, semoga kau tak lupa...
Disini,
Aku masih menunggu kedatanganmu.
          Suara peluit kereta tak lagi dapat kudengar, gerak-gerak manusia yang bergegas menjelma menjadi sebuah pertanda bagiku. Tua, telah menggerus fungsi telingaku. Pikun, mungkin aku memang sudah pikun. Namun kepikunan tidak menghapus memoriku tentang lelaki berbangsa Jepang yang berjanji padaku. Janji yang membuat aku bertahan dalam sepinya kesendirian dan berpegang teguh pada pengharapan yang entah kapan ujungnya. Disetiap rutinitas kehidupanku, selalu berhias penantian akan kedatangannya. Itulah kebodohan yang mereka bilang, hingga puluhan tahunpun aku rela menunggu kedatangannya dikala senja...
Ataukah sebuah ketulusan.
Yang bodoh...
          Seperti senja-senja sebelumnya, ditemani tongkat kayu disampingku. Aku duduk di bangku tunggu stasiun. Melihat dengan mata rabunku ke gerombolan orang yang berdesak untuk turun, berharap salah satu dari mereka adalah Takashima. Sendiri. Dan ternyata dia tetap tak ada. Menunggu perhentian kereta berikutnya, dan begitu terus selanjutnya.
          Dan ditengah penantian itu, kenangan tentang dia terus abadi dalam ingatan masa laluku...
          Sebagai salah satu anak bupati di waktu itu, mungkin statusku sudah cukup tinggi dibandingkan rakyat pribumi lainnya yang tak dapat mengenyam pendidikan. Dan karena kedudukan Ayahku pulalah, keluarga kami cukup dekat dengan para kompeni, sekaligus penjajah negeri yang berkuasa saat itu. Maklumlah, saat itu Bupati sangat tunduk dengan kolonial.
          Setiap kebijakan yang dilaksanakan harus ada pengawasan dari para menir Belanda. Hingga Jend. Jhonness harus tinggal satu atap dengan keluargaku saat keadaan waktu itu dianggap sedang memanas. Berkat Jend. Jhonesslah aku mengenal Takashima, tentara Jepang yang berstatus sebagai asissten Jend. Namun ternyata, pada kenyataannya ia adalah seorang tahanan perang. Yang pada akhirnya harus pulang ke negri asal karena sebuah peraturan dari akibat peperangan.
          Saat mendampingi Jend. Jhoness selaku tamu istimewa keluarga itulah, mungkin karena saat itu penjajahan Jepang yang begitu sadis, aku sangat membencinya. Sekalipun aku juga membenci Jend. Jhon, karena pengaruh kekuasaannya...aku tak berani mengusik orang yang sudah lebih tua itu. Tapi lain lagi ceritanya untuk lelaki Jepang yang mengekor dibelakangnya. Orang-orang Jepang itu, ingin sekali aku jitak kepalanya hingga ia kehilangan semua rambut dikepala. Umurnya yang tidak begitu jauh denganku, dan kedudukannya sebagai asisten atau lebih tepatnya babu. Membuat aku leluasa untuk memberinya pelajaran karena sudah menjajah bangsaku, dan menggerogoti daging pribumi melalui romusa yang keji.
          Setiap tugas yang ia kerjakan sebisa mungkin aku grecoki melalui hal-hal sepele yang menyusahkannya. Membuat ia mengerjakan ulang tugasnya, dan melihat lototan matanya yang sipit saat memandangku.
Dan aku fikir, ia pun menjadi membenciku karena ulah-ulah itu.
          Namun ulahku tak ada apa-apanya dibandingkan ulah bangsanya yang telah merenggut ketentraman anak pribumi. Ini tak seberapa, tak seberapa dibanding dengan kelaparan-kelaparan yang melanda, kerja tanpa upah, dan pengakuan mereka sebagai saudara tua yang berisi omong kosong belaka. Membodohi dengan begitu mudahnya...
          Sampai suatu saat, aku kepergok menumpahkan tinta di tumpukan kertas yang ada diatas meja kerjanya.
“Kyaaaaa.....”
          Aku terus berlari, tanpa tujuan berarti. Tenagaku hanya untuk menjauhinya, namun mungkin karena kekesalan yang sudah memuncak, ia tetap saja tak menyerah dengan mudah. Hingga langkah kakiku telah menjauhi pendopo dan lingkungan kabupaten...
Kekuatanku tetap saja kalah dari kekuatan lelaki, sekalipun nafas kami yang seutuhnya masih tersengal-sengal.
Cuih!
Aku meludahi wajahnya, saat kedua tanganku ia kunci dengan kedua tangannya. Kemarahan yang muncul melalui perangai wajahnya, tak menyurutkan aku mengucapkan kalimat...
“Nippon TAI!!!”
Ia masih terdiam menahan amarahnya, mungkin masih mempertimbangkan diriku yang hanyalah seorang wanita lemah.
“Suatu saat nanti, lihat saja...”
          Kalimat yang masih menggantung dan beraksen Jepang itu terdengar asing dan tak jelas ditelingaku. Yang pasti, saat itu sesungguhnya ketakutanku telah berada pada puncak yang tersamarkan oleh keberanian semu.
“Aku akan mencium bibir yang meludahiku itu.”
Ia melepaskanku begitu saja, lalu meninggalkanku sendiri. Kali ini, ketakutan benar-benar nyata. Tubuhku merinding mendengar ujung kalimat yang keluar dari mulutnya. Dan aku semakin menggila saat ia ternyata kembali kearahku.
“Kamu bisa memegang janji yang diucapkan orang Jepang. Camkan itu...”
Aku tertegun, dan membalas dengan teriakan...
“NAJISSSSS!!!!”
Tak ku sangka, ia hanya tersenyum menanggapinya.
          Mulai detik itu, sungguh. Aku enggan mengusik dirinya, ku usahakan untuk menghindari segala sesuatu tentangnya. Namun ternyata, kini giliran dia yang membalas dendam. Dengan “senjata” yang membuatku kikuk sebagai seorang gadis.
“Nippon anjing...”
Keluhku saat ia melancarkan serangannya.
                Dan saat kami sudah lelah dengan permainan yang tak tahu kapan dimulainya, “perang”pun berakhir.
            Disaat itulah, ada perasaan yang berbeda saat aku memikirkannya. Termasuk tatapannya saat memandangku. Tatapan aneh yang tak bisa kujelaskan. Perasaan aneh yang tiba-tiba muncul, sikap kikuk yang tiba-tiba hadir diantara kita. Apa mungkin ???, mungkin saja ia. He.em... tatapan seseorang yang memiliki “rasa”. Tatapan yang terkandung sayang, rindu, bahkan mungkin ada sedikit cinta. Tatapan kekasih yang sedang melihat orang yang sedang ia cintai. Mungkin, atau mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu percaya diri...
          Suasana bangsa semakin memanas, pemberontakan ada dimana-mana. Keluargaku dianggap sebagai penghianat bangsa, karena melindungi kompeni. Pribumi yang memberontak mulai menyerang keluargaku. Kadipaten mulai mengasingkan seluruh keluarga bupati. Termasuk aku. Dan entah karena alasan apa, aku ingin mengetahui keadaan Takeshima yang kabarnya membela kadipaten.
          SrrrEEEt!
Lenganku ditarik seseorang hingga robek, dan ternyata...
“Sedang apa kamu disini? Tidakkah kau sadar, dirimu sedang ada pada cengkraman bahaya?! Pergilah lewat belakang dinding kayu, keluargamu pasti sudah khawatir menanti kehadiran dirimu...”
DoAAArrr !!!
Letusan bom mendaratkan aku dipelukan Takashima. Dan akhirnya aku sadar satu hal...
          Deru tembakan dan hiruk pikuk peperangan kala itu, entah dimana jeritan yang melolong. Semuanya terasa tak ada, karena dibawah meriam dan diantara bau mesiu... Takashima menciumku. Sentuhan bibir mungil nan lembut itu terasa hangat menenggelamkan kejamnya sebuah peperangan. Membuatku membalasnya, karena ternyata perasaan inilah jawaban dari semua pertanyaan aneh yang ada dibenakku.
          Suasana mereda, setelah ada pada keputusan pengembalian semua tawanan perang tentunya berasal dari Jepang, harus dikembalikan ke negri sakura. Dan aku...
Hanya dibekali sebuah janji...
“Aku akan kembali, entah kapan waktu itu akan tiba...tunggu aku. Tunggu aku distasiun ini. Pegang sekali lagi janji orang Jepang. Aku akan memenuhinya, seperti janjiku sebelumnya.”
          Di stasiun ini ia pergi, dan berjanji akan kembali. Tujuannya ialah ke ibu kota negara, untuk akhirnya berujung pada bangsa kelahirannya.
          Kereta selanjutnya tiba, tetap tak ada sosok yang kucari. Senja kini telah berganti menjadi malam. Dan berakhirlah penantianku untuk hari ini. Esok hari, penantian yang menjadi rutinitas dikala senja telah menanti.
          Langkah kaki ku terseret setelahnya oleh tongkat yang menopang. Yah, aku memang sudah tua. Seperti senja yang lambat laun pasti kan berubah menjadi malam. Tentu lambat launpun aku akan mati. Tapi, Takashima...
Sampai kapan lagi aku harus menikmati penantian ini.
Takashima, apakah...
Sebenarnya dirimu sudah mati lebih dulu dari aku ??
Ah, malam tetap malam.
Biarlah menjadi sebuah malam, seperti malam-malam sebelumnya...

0 komentar:

Posting Komentar

fr33Zoonecustume. Diberdayakan oleh Blogger.

PopullaryierZ

© Fr33Zoone, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena