Zona yang membebaskan fikiran, khayalan, keinginan, dan harapan. It's just fiction.

Senin, 18 Juni 2012

Tapak Dua Iman


Untuk seseorang yang bernama Toni, yang bahkan nama panjangnya tak ku ketahui. Hanya dua hal yang aku tahu mengenai dirinya. Pertama, ia kuliah di Solo. Dan kedua, ia seorang kristiani. Aku selalu berusaha untuk memperlakukan dia seistimewa yang aku bisa,  meski aku hanya dapat memejamkan mata untuk mengingat wajahnya. Walau semestinya aku tak kehabisan waktu untuk mengenalnya lebih jauh, namun sayangnya aku sendirilah  yang tak mau. Karena hanya dengan informasi seminim itu saja, ia sudah membuatku segila ini. Sampai kata-kata ini terangkai, aku hanya sekali seumur hidup bertemu dengan dirinya.

Aku percaya seutuhnya, bahwa perasaan cinta itu adalah kuasaNya. Ia yang menempatkan perasaan indah itu di dalam hati kita, walau terkadang perasaan itu kurang masuk di akal, sungguh manusia tak dapat mengatur perasaan yang ia rasa. Sisanya, manusia hanya bisa menganggap itu sebagai anugrah atau sebuah musibah. Karena Allah kadang memberikan ujian melalui perasaan manusia yang rentan. Bahkan seorang homo atau lesbian sekalipun,    keduanya tak pernah mengharapkan perasaan cinta itu bersemi pada satu kaumnya. Mereka tak bersalah,   namun bukan berarti Allah-lah yang bersalah. Ia hanya ingin tahu, seberapa besar pengaruh iman-Nya dalam hidup kita. Yang pasti, Allah telah menciptakan jodoh kita. Entah melalui jalan yang mana. Jadi meski sekeras apapun kita berusaha mencari pasangan,  kita akan bermuara pada pilihanNya. Termasuk bila kita hanya diam saja, aku percaya…Allah mempunyai berbagai cara untuk mempertemukan kita dengan jodoh pilihanNya. Karena sungguh, jodoh itu urusan Allah.
Tak ubahnya dengan perasaanku, aku pun tak menyangka dapat merasakan perasaan cinta pada lelaki yang menolongku waktu itu. Aku benar-benar terpaku saat memandang matanya, tak ada yang istimewa…hanya detak jantungku berdenyut ekstra. Meski aku baru sadar, ternyata aku tak bernafas saat menikmati lekuk wajahnya. Terpaku aneh dengan perasaan yang tiba-tiba bergejolak entah karena apa.
Stasiun. Tempat dimana untuk yang pertama kalinya, aku merasakan perasaan itu, dan dengan kebodohanku, aku simpulkan…rasa itu adalah C.I.N.T.A.
“Awas saja, kalau buku-buku ini dibawa mereka ke tempat loak lagi!” gerutuku saat menelusuri lantai stasiun yang ditemani beban kedua kardus berukuran sedang,  dikedua tanganku. Maklumlah,  aku sedang menjadi aktifis kegiatan  sosial. Kesibukanku saat ini menggerakkan minat baca pada kalangan penjaga kebersihan lingkungan ber-strata rendah, atau yang lebih dikenal dengan pemulung. Mungkin terlihat sepele, karena objekku adalah anak-anak putus sekolah. Namun kesabaranku benar-benar terkikis ditempat itu,  terlepas karena keadaan fisik lingkungan hidup mereka. Bayangkan saja, aku sengaja membelikan buku-buku layak baca dengan uang pribadiku,  berharap mereka membaca meski hanya satu baris kalimat saja. Dengan antusias mereka berebut untuk memperoleh banyak-banyak buku, sungguh…itu adalah peristiwa yang membuat kedamaian di dalam jiwaku. Namun ternyata, semua buku itu berakhir di ujung pengepul bersama sampah-sampah lainnya.
“Lalu untuk apa selama tiga bulan terakhir ini, aku mengajari kalian membaca dan menulis. Bahkan untuk satu kata saja, kalian enggan membacanya…”
Mereka terdiam, kuperlakukan mereka layaknya orang dewasa yang mengerti kata-kataku.
            “Disini adalah pengorbananku. Ditempat inilah perjuangan kalian, perjuangan untuk kehidupan yang lebih baik lagi dari se-onggok* sampah. Bagaimana perasaan kalian, saat predikat sampah masyarakat menempel pada pekerjaan kalian yang sebenarnya begitu berat. Saat kalian bisa membaca, dan banyak membaca…saat itulah peluang pekerjaan baru aku tawarkan kepada kalian. Menjadi seorang penulis, pekerjaan yang lebih baik dibandingkan memulung. Pekerjaan yang membuat harga diri kalian tidak lagi terinjak dengan pandangan sebelah mata…”
Ku hela nafas untuk sejenak memandangi wajah mereka yang polos dan masih terdiam. Mungkin mereka sama sekali tak mengerti apa yang aku katakan, namun hanya itu pelampiasan kekesalan yang bisa kulakukan.
            “Sudahlah, kalian boleh pulang. Mungkin sebenarnya akulah yang gagal...”
Dan aku benar-benar sedang putus asa.
“Mungkin kita sudahi sampai disini saja, hari ini adalah hari terakhir kalian melihat kakak sebagai pengajar. Kakak takkan lagi mengganggu kesibukan kalian, tak ada lagi buku yang bisa kalian baca. Itukah yang membuat kalian senang…?”
Aku merobek buku yang ku pegang secara perlahan. Dan mereka masih saja terdiam…
            Setelah seminggu tanpa kehadiran mereka dalam kesibukanku,  aku sadar satu hal…ternyata aku tak rela,   semua perjuanganku untuk membuat mereka membaca selama ini terbuang sia-sia begitu saja, tanpa hasil. Karena itulah, aku akan memberikan kesempatan kedua untuk mereka dan diriku sendiri. Pasti ada jalan yang lebih indah dari keterbatasan yang kami rasakan selama ini.
            Dengan alasan itulah, aku menenteng kedua kardus itu sebisaku. Dan ditemani kekesalan akan buruknya pelayanan kereta ekonomi, remuklah sudah semangatku untuk menebarkan senyum.
Bbruuuuuk !
Seseorang menabrakku. Ujung gitar yang ia bawa memukul kearah dada, tepatnya dibekas jahitan operasi kangker yang pernah kudera. Rasa sakit yang tiba-tiba menusuk membuatku menjatuhkan kardus yang kubawa. Berseraklah sebagian isi yang ada di dalamnya. Dan aku merasa begitu lemah, saat aku sedang menikmati pesakitan itulah…
Sosok laki-laki yang entah datang dari mana, menolongku dengan pesona seutuhnya. Rasa sakit menjelma sebagai kesempatan untuk menikmati ia lebih dekat. Dan waktu yang sesingkat itu pun terasa begitu lama saat aku tatap matanya. Itulah keindahan, terlepas dari seberapa ganteng, kaya, pintar, ataukah hebatnya dia…tak ada pengaruhnya, karena saat itulah yang menghidupkan perasaan kita adalah kuasaNya. Dan sekali lagi, aku begitu menikmatinya…
“Bang Toni !!!!”
Suara pedagang asongan cilik membuat aku tersadar kedalam dunia nyata.
“Sudah merasa lebih baik ?” suara sangaunya terasa begitu lembut.
“Lumayan.” Jawabku begitu singkat, seolah hanya ingin menikmati setiap tingkahnya saja, tanpa memperhatikan diriku sendiri…
“Bang Toni, cepet! Nanti ketinggalan…” suara cilik itu sungguh membuatku merasa terganggu.
“Sebentar, kamu kesana dulu saja, nanti abang nyusul…” lelaki itu menyahut tanpa melepaskan pandangannya kearahku. Dan detik itulah, aku merasa menjadi wanita yang istimewa baginya untuk sebuah moment. Meskipun hanya beralaskan kasihan atau menolong sesama, aku tetap merasa itu begitu indah…
“Sudah Mas, saya sudah baikan…” meski sebenarnya aku enggan ia pergi, keperluannya yang telah sedia menanti, membuatku tak enak hati.
“Tidak apa, Mba. Bukan urusan penting, hanya ngamen puisi dipinggir trotoar depan stasiun…” ucapnya sembari membereskan ceceran buku yang berserak.
“Makasih Mas…” ucapku tersipu entah karena apa, yang pasti ini untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan seperti ini sepanjang hembusan nafasku. Ia hanya membalas dengan senyuman seperti kebanyakan orang lainnya.
“Kuliah dimana ?” pertanyaanku membuat ia sejenak menghentikan aktifitasnya. Kemudian memandangiku lekat-lekat, sontak aku seperti telah memberikan pertanyaan bodoh yang tidak memerlukan jawaban. Untuk waktu yang cukup lama, kami berdua hanya saling terdiam. Dan tiba-tiba….
Ia tertawa begitu lepas, fenomena seperti itu membuatku ikut tertawa. Tertawa karena melihat tawanya.

            “Selama aku disini, baru kamu yang bertanya hal seperti itu padaku. Padahal, sebelumnya sekalipun, orang-orang disini tidak percaya kalau aku mengaku sebagai seorang mahasiswa….”
Ia kembali tertawa. Kemudian sejenak mengatur nafas untuk menjawab pertanyaanku…
            “Aku kuliah di Solo,” jawabnya singkat. Kemudian menyerahkan tumpukan buku yang sudah tertata rapi kepadaku. Detik selanjutnya, aku tak punya daya…
Mataku menangkap tato bergambar salip di pergelangan nadinya, tulisan kristiani melingkar indah melindungi tato sederhana itu. Entahlah, aku tak pernah berharap banyak. Namun rasa kecewa tiba-tiba ada, sekali lagi…entah karena apa.
“Sudah dulu ya, lain kali harus lebih hati-hati…” petuah dan senyum manisnya kali ini tak mengubah wajahku yang datar, mungkin karena shok. Kenapa berbeda keyakinan ?! Aku benar-benar tidak memiliki kesempatan. Ku tenggelamkan wajahku diantara tekukkan kedua lututku, menarik nafas sepanjang yang aku bisa. Namun, ada sesuatu yang mengganggu di punggungku. Ku angkat wajahku untuk mengetahui apa itu. Dan ternyata…
Yang ku dapati adalah wajahnya. Detak jantungku kembali bekerja dengan ekstra.
“Kerudung kamu…” kerudungku yang tersingkap sedikit, ternyata mengusik ia untuk kembali kearahku. Dan kali ini ia benar-benar pergi…
            “Masih ada kesempatan…” ucapku lirih. Entah kesempatan seperti apa, yang dapat ku kenali. Kesadaranku kembali pada rasa sakit yang terasa lagi di rongga dada sebelah kiri…
            Setibanya dirumah, mataku kembali tercengang. Kehadiran keluarga besar Ustadz Ashfan, memaksa salah satu alisku tercincing ke atas. Rupanya petualanganku berburu buku bekas di Semarang, telah menghilangkan begitu banyak peristiwa dirumah. Sebenarnya tidak aneh jika paman Ashfan berkunjung, maklumlah beliau adalah sahabat karib Abi. Mereka sering berdakwah bersama. Namun semuanya terasa janggal, saat putra sulungnya pun ikut hadir dalam perkumpulan dua keluarga besar itu. Jangan-jangan…
            “Tsuni…?!” ucap Umi tertegun melihat kehadiranku di daun pintu.
            “Kenapa tidak memberi kabar kalau mau pulang? Setidaknya kan ada yang jemput…” Abi ikut terbawa kaget. Sejurus kemudian, menyuruh amang Upat membawa kedua kardus bersejarah itu.
            “Subhanallah, rahmat-Nya senantiasa terasa…” celetuk paman Ashfan membuat aku merasa sedikit risih, saat lirikannya mengarah kearah Albab, selaku putra sulungnya. Albab tersenyum segar melihat kearahku yang masih kucal.
            “Assalamualaikum…”
Salamku terasa tak berselera, seiring dengan fikiran yang bermunculan akan maksud kehadiran Albab. Kucium tangan orang-orang yang ditua-kan, dan memberikan sedikit senyum kecut kearah Albab. Sebenarnya tak ada yang salah dengan Albab, hanya saja…seluruh kesempurnaan yang ia miliki, semakin mengucilkan keberadaan perasaanku terhadap Toni. Dan itu yang tidak aku sukai.
“Aku istirahat dulu, Bi…”
Ucapku lesu tanpa minat berarti. Tapi langkahku terhenti, saat Umi membisikkan sesuatu…
            “Ada yang ingin Albab bicarakan kepadamu, temuilah sebentar. Tak segan kau pada paman Ashfan ???”
            “Tak bisakah esok-esok hari, aku sangat lelah Ummi…”
            “Besok Albab sudah pergi ke Turki untuk studi, penerbangannya tinggal dua jam lagi. Sebenarnya, kedatangan mereka untuk melamarmu. Tak disangka, jodoh tak lari kemana. Kamu tiba-tiba datang. Setidaknya, biarkan Albab berbicara langsung kepadamu tentang maksud hatinya. Dia ingin mengikatmu dalam tali pertunangan, dua tahun lagi…setelah ia pulang dari studinya, pernikahan baru dilaksanakan…”
            Sungguh aku tak mengerti maksud Tuhan, masih tersisa debar perasaan itu untuk sosok penolongku. Tiba-tiba situasi memaksaku untuk terpaku. Albab adalah sosok imam idaman bagi   wanita karena kesholehannya, ditambah predikat anak kyai membuat wibawanya semakin tinggi. Masalah harta, tampang, dan kecerdasan  tentu tidak perlu ditanyakan lagi bagi kedua orang tuaku. Namun sayangnya, Allah tidak menurunkan perasaan aneh itu. Hingga sesempurna apapun ia, tak ada yang istimewa di hatiku. Dan itu bukan salahku. Tanpa sepengetahuan orang tuaku, aku menolak ikatan yang ia tawarkan.
            Semua wanita yang beriman, tentu ingin memiliki suami yang mempunyai pengetahuan agama yang dalam sebagai panutannya di sebuah ikatan pernikahan. Dengan sadar ku tepis harapan itu demi sosok yang bahkan tak ku kenal. Hanya karena sebuah perasaan yang bahkan masih dalam bentuk pertanyaan, benarkah rasa yang ada ini cinta?
            Aku tahu dengan pasti, tak ada kesempatan sedikit pun tentang perasaan yang aku rasa. Bagi keluarga kyai, pernikahan berbeda agama itu haram hukumnya. Namun entah kenapa, masih saja aku ingin mempertahankan rasa ini. Dalam surat al-baqoroh ayat 221, telah menjelaskan…
            “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari pada wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
         Tak ada sesal sedikitpun setelah membaca ayat itu. Entah karena apa, mungkin karena kebodohan yang membutakan fikiranku atau apa. Aku sama sekali tak tahu, perasaan ini mengalir begitu saja. Bahkan dilema yang kurasa, adalah harapan akan ke-islam-annya. Mungkin ini tentang keegoisanku saja, karena semuanya hanya bersumber dari diriku, hidupku, agamaku, kitabku, surgaku, dan harapanku. Aku sama sekali tidak memperhatikan dunianya, karena aku pun tak mengenalnya.
Masalah yang bersarang, bahkan membuyarkan rasa sakit yang kadang ku rasa di dada. Untuk keislamannya, aku sengaja mengkhatamkan al-Qur’an, puasa sebulan penuh dengan di sisipi puasa “muteh” selama tujuh hari berturut-turut. Atas izinNya, bahkan aku tak menstruasi dalam penuntasan misi tersebut. Sholat hajat, tahajud, witir, dan taubat senantiasa menghiasi sholat lima waktuku. Bahkan Ummi merasa takut, bahwa perubahan sikapku merupakan tanda akan dipanggilnya diriku oleh Sang Penguasa. Tawaku pun tercipta akan prasangka yang Ummi sandang.
Aku tak peduli, entah ia akan menjadi pendamping siapa. Sekalipun tidak menjadi imamku, aku rela melihat kebahagiaannya. Yang penting ia islam. Meski ia tak mengenalku di dunia, aku masih berharap dapat bertemu dengannya di keabadian waktu dalam surga. Surga dalam imanku.
Namun, bila ia memang jodohku…
Setulus hati aku rela dipinangnya meski hanya dengan syahadat, dan ber-mas kawin-kan keislamannya.  Sungguh, ia telah menggenggam ridhoku sebagai istri. Aku rela menuntunnya sholat, menungguinya wudhu, dan mengajarinya baca-tulis al-Qur’an. Semua pengetahuanku tentang islam, akan aku jadikan bahan untuk membuatnya menjadi imam yang baik bagi rumah tangga yang kami naungi nantinya. Meski waktuku telah habis untuk itu, sama sekali tak ada sesal yang tersisa.
Namun, anganku terlalu jauh. Karena misi keagamaan yang aku jalani itu,  semakin membuat parah kondisi kesehatan yang aku anggap baik. Ternyata, sel-sel kangker yang dulu bersarang dalam payudaraku masih tersisa. Sel-sel jahanam itu, diam-diam telah menggerogoti organ vital dalam tubuhku. Pantas saja, payudaraku terasa membesar dengan tak wajar.
Hebat nian kekuatan sebuah cinta, hingga ia membuatku tak merasakan siksaan penyakit yang ada. Hingga kesadaranku muncul, saat penyakit itu sudah terlanjur parah. Lalu apa yang harus aku lakukan ?!
Aku yakin, kematian itu adalah takdir Allah yang tidak bisa diubah. Apapun jalan cerita yang ia ciptakan, bila sudah waktunya…maka ia akan mati. Entah kapan, dimana, dan bagaimana. Setiap orang akan melewati sesi itu. Yang pasti, kematian itu jalan untuk bertemu dengan Sang Kholik. Terlepas dari seberapa banyak dosa maupun pahala yang telah kita perbuat. Toh, Allah Maha Pengampun. Semua mahluk yang beriman, insyaallah masuk surga. Surga menurut imanku. Jadi, tak ada lagi alasan untuk tak tenang bagiku dalam menanti kematian. Masih saja tak ada sesal, atas semua perlakuan istimewa yang aku berikan untuk Toni. Ini adalah sebuah keindahan yang patut untuk disyukuri. Karena menjadi perhiasan yang mengiringi hembusan nafas terakhirku…



Mencintaimu adalah sebuah romantisme,
Meng-ikhlaskan dirimu adalah sebuah jalan pilihan,
Membuat cerita tentang dirimu adalah bukti…
Bukti akan adanya arti dari kata mencintai…

0 komentar:

Posting Komentar

fr33Zoonecustume. Diberdayakan oleh Blogger.

PopullaryierZ

© Fr33Zoone, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena