Zona yang membebaskan fikiran, khayalan, keinginan, dan harapan. It's just fiction.

Minggu, 20 Mei 2012

Sastra yang Tabu


           Sinopsis

Cerita berawal dari kota New York. Tempat dimana Laila Gagarina, menunggu pujaan hatinya. Cinta matinya, karena ditempat itulah sesungguhnya ia akan menyerahkan keperawanan yang ia miliki. Setelah sekian lama, akhirnya ia dapat memberanikan diri dan mengikhlaskannya. Seandainya itu terjadi. Itu adalah cinta, dia sudah muak dengan dosa. Lelaki yang beruntung itu bernama Sihar. Sihar, sang suami orang. Namun perbuatan maksiat tersebut, urung terjadi. Karena Sihar ternyata tak menepati janjinya lagi.
Bagian selanjutnya, cerita memakai sudut pandang tokoh lain. Saman. Pada bab ini, dijelaskan masa lalunya sebagai Athanasius Wisanggeni. Dan alasan kenapa ia mengganti namanya menjadi Saman. Mulanya Wisanggeni merupakan seorang pastor, namun karena seperti mendapat panggilan masa lalu. Ia pergi mengunjungi tempat masa kecilnya di Prabumulih. Tak disangka, ternyata disanalah akhirnya ia menemukan perasaan kasih. Kasih yang lambat laun, sungguh tidak ia sadari. Kasih yang berawal dari rasa kasihan kepada seorang gadis yang dianggap gila dan buruk rupa. Meski berawal dari rasa simpatiknya kepada Upi, ternyata ia terlanjur terjun kedalam masyarakatnya juga. Ia mencoba ikut memperbaiki perekonomian desa yang menggantungkan hidupnya dari getah karet. Setelah masa depan mengintip dengan cerahnya, tiba-tiba perusahaan pemerintah ingin mengganti usaha kerasnya itu dengan perkebunan sawit. Otomatis, semua warga menolak. Keluarga Upi yang dipelopori oleh Wis, menolak dengan cerdas. Namun ternyata, penolakan itu membuat pihak tak beradap itu melakukan perbuatan-perbuatan anarki yang merugikan warga. Baik secara psikis maupun materi.
Hingga Upi pun meninggal terbakar, setelah sebelumnya ia diperkosa. Upi yang tak tahu apa-apa. Gadis yang ternyata, setelah kematiannya menyadarkan perasaan Wis tentang cinta. Setelah kepergiannya, Wis semakin terberatkan oleh status buronan. Status yang terpaksa harus ia sandang karena terjepit keadaan. Keadaan yang ternyata sarat akan kelicikan dan politik yang busuk. Namun akhirnya, akibat dari pertolongan kerabat dekatnya…Wis dapat melarikan diri. Karena status buronan itu, Ia mengganti namanya menjadi Saman.
Bagian selanjutnya, diisi oleh sudut pandang Shakuntala. Ia yang sangat membenci Ayahnya sendiri. Ia dengan kisah persahabatan yang begitu intens. Terutama dengan Laila, persahabatan empat sekawan sedari SMP. Telah membuat anggotanya tak segan untuk terbuka. Termasuk dalam hal-hal pribadi. Dan Shakun, cintanya ada pada kata menari. Lelaki kiranya telah membuat ia jenuh dan tak peduli. Mungkin karena ia tak peduli lagi dengan kata dosa. Karena hal itu, ia sangat khawatir dengan Laila. Laila yang masih perawan dan anak baik-baik saja. Ia tak rela, jika sahabatnya itu jatuh ke tangan Sihar yang begitu piciknya memanfaatkan keluguan Laila. Dan bodohnya, Laila masih gila karena sosoknya. Anggota lainnya dari geng mereka adalah Cok dan Yasmin. Keduanya juga mendukung saja, apa yang dilakukan Laila. Namun Shakun, meski ia tak dapat berbuat lebih, ia tetap tidak suka dengan Sihar.
Wisanggeni yang kini telah berubah nama menjadi Saman, teramat menyesal atas apa yang telah terjadi. Rasa bersalahnya bermuara pada Ayahnya. Namun, keadaan telah mengharuskan semua itu terjadi. Ia seperti telah begitu menyusahkan beliau. Tapi, baktinya masih terlihat dari surat-surat yang ia kirim. Dalam pelarian itulah, terbelalak fakta akan hubungan Saman dengan Yasmin. Padahal saat geng mereka di SMP, Lailalah yang begitu mengagumi Wiss. Pak Wiss yang berstatus sebagai pengajar. Hubungan Saman dengan Yasmin, bersifat rahasia. Hubungan Gelap. Sangat gelap . Tak dapat terlihat lagi letak keberadaannya. Padahal Saman sendiri telah tahu, bahwa Yasmin telah bersuami. Mungkin itulah balada cinta, yang bahkan tak dapat terlihat oleh dosa, karena sungguh… dosa itu tak dapat dilihat oleh kedua mata manusia. Tapi sayangnya, Tuhan tak buta…

    Komentar


Sebenarnya, alasan saya menjadikan Saman sebagai bahan salah satu bagian blog saya adalah karena kontroversinya yang berada diantara dua blok pandangan Sastra Modern. Blog pertama: pandangan sastra yang (masih) masuk dalam decade sastra modern, dekade sastra modern awal yang bila dilihat oleh mata jaman, menjadi terlihat begitu kuno saat ini. Sastra yang masih memperhatikan unggah-ungguh, kesopanan, nilai etika, dan budi. Suatu keindahan tulisan yang terangkai begitu dalam. Penggunaan gaya bahasa dan cara penulisan yang teratur dan patuh pada aturan berbahasa.
Blok kedua: pandangan sastra modern yang terjadi diakhir-akhir ini, pandangan yang menganut nilai kebebasan dan seni yang  bersifat relatif. Lebih kepada hak prerogative pengarang. Keteraturan yang bersifat pribadi, tak terikat pada aturan kata dan berbahasa, hanya pada bagaimana perasaan dan pikirannya dapat tersampaikan melalui diksi yang mewakili. Tak terlihat dari rangkaian katanya, melainkan maksud yang ingin disampaikan.
Terlepas dari itu semua, keindahan itu bersifat relatif. Jadi tak ada yang berhak untuk menghakimi keindahan itu sendiri.
Bersumber dari itu semua, akhirnya saya dapat menikmati Saman secara utuh. Saya rasa, saya tidak termasuk dalam kedua blok itu. Mungkin saya akan membuat gerakan non blok, blok dimana begitu terpesona akan rangkaian yang begitu indah, dan terhanyut dalam jalan ceritanya.
Secara gaya penulisan, rangkaian kata yang terdapat dalam Saman begitu indah. Pemilihan diksi dan cara berbahasa yang begitu halus, membuat kita merasakan apa yang ingin disampaikan. Karena pengarang menuliskan sesuatu dengan begitu gamblang, tentang yang memang manusia rasakan tanpa ada sifat segan dan kata tabu. Semuanya jujur…
Namun terkadang, bila dilihat secara keseluruhan kita akan merasa ada sesuatu yang kosong, tanpa makna. Makna dari cerita terkandung dalam bagian-bagian kecilnya. Sementara makna secara keseluruhan tak terlihat jelas.
Saya dapat memahami pendapat dari penganut blok pertama. Namun saya juga begitu terhanyut dalam keberanian diksi dan emosi para penganut blok kedua.
Mungkin, inti sari dari cerita melebur dalam diksi dan kalimat yang pengarang buat. Hingga pembaca tidak dapat melihat apa isinya, namun dapat merasakan apa yang terkandung didalamnya. Jadi, secara keseluruhan sulit untuk mencari inti sari cerita itu. Karena bila dicermati, jalan ceritanya begitu sederhana dan umum. Namun disampaikan dengan begitu mengesankan.
Gebrakan yang Ayu Utami tawarkan adalah pemilihan diksi yang berani. Merobek ketabuan yang begitu terpelihara. Tentu semua pilihan yang dibuat, pastilah ada konsekuensi. Konsekuensi positif : dukungan dan penghargaan dari blok kedua, konsekuensi negatif : kecaman dan kritik kesopanan dari blok pertama.
Namun demikian, itu malah menambah pesona khasanah sastra nusantara. Baik kita sadari atau tidak.
Tapi, mungkin bila ingin mengambil jalan tenggahnya…pengarang-pengarang lain dapat menggunakan gaya bercerita yang sedemikian berani, namun bukan dalam hal seksual yang bersifat fulgar. Melainkan dalam hal sosial, politik, budaya, dan ekonomi bila perlu. Pemakaian diksi yang berani, indah, dan penuh makna. Pastilah hal tersebut sulit, karena taruhannya bukan hanya cekalan dari pihak yang merasa dirugikan, melainkan nyawa yang kita sandang.
Dalam hal ini, ternyata kita dapat melihat betapa besar kekuatan sastra. Yang sesungguhnya tidak bersalah. Karena karya sastra itu fiksi. Rekaan. Kenapa itu dipermasalahkan?!



by : umi_k
 


0 komentar:

Posting Komentar

fr33Zoonecustume. Diberdayakan oleh Blogger.

PopullaryierZ

© Fr33Zoone, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena